Opini

4 Alasan Bisnis FB Skeptis Terhadap Transformasi Digital

Bandung - Perkembangan transformasi digital di Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang pesat. Hal ini berdampak signifikan terhadap percepatan digitalisasi di berbagai sektor, khususnya dalam industri kreatif, terutama bisnis kuliner atau F&B (Food and Beverage).

Menurut CNBC, ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan meningkat hingga US$ 360 miliar pada 2030. Di sisi lain, modernisasi dianggap sebagai tantangan serius bagi para pelaku bisnis F&B. Mereka berusaha keras mempertahankan bisnis agar tidak tergerus oleh laju konvergensi digital.

Menurut informasi dari kanal YouTube Jet Commerce, budaya bisnis online sudah ada sejak 2015, dimulai dengan munculnya layanan pesan antar. Kala itu, transisi menuju bisnis digital belum menjadi suatu keharusan. Namun, pandemi Covid-19 telah mempercepat kebutuhan akan transformasi ini.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut data yang dirilis oleh Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) berdasarkan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) G20 (2020), sebelum pandemi ada sekitar 9 juta (14%) UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) Indonesia yang telah beralih ke ranah digital. Angka ini meningkat pesat selama pandemi, yaitu mencapai 21 juta (32%) dari total 64 juta UMKM di Tanah Air. Artinya, masih ada sekitar 68% pelaku UMKM yang belum melaksanakan transformasi digital.

Berdasarkan laporan terbaru dari Kemenkeu RI (Kementerian Keuangan Republik Indonesia) tahun 2023, interaksi antara pelanggan dan pembeli telah mengalami peningkatan digital sebesar 36% sebelum pandemi. Angka ini melonjak menjadi 58% selama masa pandemi, dan kembali meningkat hingga 80% setelah pandemi. Sisanya, 20% UMKM belum memanfaatkan potensi ruang digital.

Di sisi lain, dukungan pemerintah dan mendesaknya keadaan turut mempercepat momentum transformasi digital. Tak heran, para pelaku bisnis masa kini dihadapkan pada tuntutan untuk segera beradaptasi dengan perubahan.

Lalu, kemana kah sisanya dan apa yang ada di benak mereka?

Dalam upaya memahami hambatan yang dihadapi pelaku bisnis kuliner, tim di balik aplikasi kasir Tantri (di bawah naungan PT. Sasana Solusi Digital), telah melakukan survei menyeluruh terhadap 500 pedagang F&B, termasuk kafe dan restoran di kota Bandung. Survei ini dilaksanakan selama kuartal 1 dan 2 (Q1-Q2) tahun 2023, dengan tujuan mengungkapkan alasan di balik keengganan dan kendala yang dihadapi dalam menerapkan teknologi kasir digital sebagai bagian dari transformasi.

Hasil riset mengungkapkan empat alasan utama yang menjadi latar belakang keengganan pelaku bisnis F&B untuk mengadopsi transformasi digital, yakni faktor pandangan atau pemikiran (Mindset), orientasi pada pelanggan (Customer Centric), proses pengambilan keputusan (Decision Making Process), dan cakupan fitur-fitur canggih (Advanced Features).

Dengan memahami empat poin kunci ini, pelaku bisnis F&B dapat mengambil keputusan yang lebih terinformasi mengenai langkah-langkah transformasi yang mereka perlukan. Para pengembang teknologi pendukung industri F&B juga akan mendapatkan wawasan lebih mendalam tentang kebutuhan para pemangku kepentingan bisnis saat ini.

Para pelaku bisnis di industri F&B tidak mengabaikan peluang transformasi digital, namun mereka memiliki pertimbangan khusus sebelum terlibat dalam inisiatif tersebut.

Dalam rangkaian kunjungan ke 500 merchant yang dilakukan oleh tim Tantri, terungkap bahwa setiap pelaku bisnis memiliki pandangan yang bervariasi terhadap transformasi digital. Dari data yang terkumpul, kami mengidentifikasi empat kategori alasan utama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Rincian lebih lanjut dapat ditemukan dalam penjelasan berikut ini!

Mindset

Customer Centric

Decision Making Process

Advanced Features

01. Mindset: 7,46% Pelaku Bisnis Menahan Diri Berdasarkan Pandangan yang Mereka Yakini.

Dalam studi terbaru yang melibatkan pelaku bisnis F&B, 7,46% pelaku bisnis mengungkapkan bahwa faktor mindset atau persepsi mempengaruhi keputusan mereka untuk belum menggunakan aplikasi kasir. Hal ini menunjukkan bagaimana pandangan mereka terhadap transformasi bisnis sebagai solusi terhadap tantangan yang dihadapi.

Penelitian juga memperlihatkan bahwa pada masa kini, masih ada sebagian yang belum memandang aplikasi kasir sebagai solusi mendesak. Perspektif ini mengindikasikan bahwa mayoritas pelaku bisnis masih memilih operasional konvensional sebagai pilihan utama mereka.

Hal tersebut didukung oleh hasil riset yang didapatkan, bahwa: Terdapat 5,22% pelaku bisnis F&B telah menjalin kerja sama dengan para penyedia teknologi F&B, namun mencoba untuk berdamai dengan segala “Keterbatasan” yang ada. Baik fiturnya dirasa efektif, berfungsi dengan baik, atau tidak.

Lalu, 0,93% pelaku bisnis masih memandang perkembangan teknologi “Belum Terlalu Penting” untuk saat ini. Ada yang sedari awal masih mengandalkan sistem manual, maupun yang di tengah jalan kembali ke manual.

Sedangkan 0,75% merchant merasa lebih puas akan sistem teknologi F&B yang mereka “Kembangkan Sendiri”, atau dengan kata lain sistem yang hanya sesuai dengan gambaran pribadi. Misalnya, Microsoft Excell untuk pendataan atau inventory, lalu Linktree atau Pdf untuk membuat menu digital.

Dan sekitar 0,56% merchant masih “Meragukan” peranan teknologi F&B dalam bisnisnya. Sebab, mereka pernah dihampiri beberapa masalah teknis, mulai dari kendala jaringan atau kecepatan akses data, setting user, invoice gagal cetak atau double print, missed order, hingga error pada sistem.

Berdasarkan poin di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar merchant mencoba berdamai dengan keadaan dan menerapkan teknologi F&B, terlepas dari kualitas dan efisiensi sistem yang digunakan.

Sisanya, ada yang menganggap sistem belum terlalu penting dan diragukan, sehingga bergaya manual. Ada pula yang strateginya menggunakan sistem yang dibuat sendiri.

02. Customer Centric: 5,41% Bisnis F&B Mempertimbangkan Persepsi Pelanggannya.

Dalam konteks ini, Customer Centricity mengacu pada upaya pelaku bisnis F&B untuk memahami dan merespon berbagai tanggapan dari pelanggan terhadap kafe atau restoran mereka, baik itu positif maupun negatif, terkait dengan implementasi transformasi digital.

Sebanyak 5,41% dari pelaku bisnis kuliner menunjukkan pertimbangan yang berbeda ketika memutuskan untuk mengadopsi aplikasi kasir. Mereka melakukan evaluasi lebih mendalam terhadap dampak yang akan dirasakan oleh pelanggan, apakah mereka akan merasa terbantu atau sebaliknya.

Dengan pendekatan yang lebih cermat terhadap kebutuhan dan preferensi pelanggan, pelaku bisnis berharap mempertahankan hubungan yang kuat dan positif dengan basis pelanggan mereka.

Dengan pendekatan yang lebih cermat terhadap kebutuhan dan preferensi pelanggan, pelaku bisnis berharap mempertahankan hubungan yang kuat dan positif dengan basis pelanggan mereka.

Ada sekitar 3,92% merchant yang cenderung untuk “Tetap Mempertahankan Interaksi Langsung” dengan para pelanggannya tanpa bantuan teknologi F&B. Alasannya, untuk mempertahankan citra atau branding. Misal, sejak awal sebuah merchant mengusung konsep vintage atau klasik, sehingga mereka berpikir konsep digital dirasa tidak cocok diusung ke dalam kafe atau restoran.

Lalu, 0,93% merchant juga mempertimbangkan apakah ada “Biaya Tambahan oleh Pelanggan” yang dianggap sebagai beban yang dapat memberatkan mereka.

Dan 0,56% sisanya mempertanyakan tentang bagaimana nantinya agar pelanggan “Bisa Tetap Loyal” setelah teknologi F&B ini diterapkan. Persamaan antara poin 2 dan 3 ada pada pertimbangan customer experience, yang bisa menjadi faktor retensi pelanggan untuk kembali lagi.

Sebagian besar merchant masih percaya bahwa kedekatan dengan pelanggan masih bisa didapatkan dengan interaksi langsung atau manual, diikuti dengan pertimbangan cost.

03. Decision Making Process: 40,86% Mengalami Hambatan dalam Proses Pengambilan Keputusan

Sebanyak 40,86% dari pelaku bisnis masih mempertimbangkan apakah menerapkan transformasi digital adalah langkah yang tepat. Kondisi ini tidak hanya menyulitkan mereka dalam mengambil keputusan, tetapi juga memperlambat proses digitalisasi.

Berikut adalah beberapa pertimbangan yang mereka sampaikan:

22,2% mayoritas menunjukkan bahwa para pengambil keputusan di bisnis F&B “Belum Sepenuhnya Teredukasi” terkait teknologi F&B, baik dari pihak bisnis itu sendiri ataupun dari penyedia teknologi.

Sekitar 15,67% provider atau developer masih “Belum Bertemu dengan Decision Maker” bisnis F&B (Owner, Manager, atau Supervisor) untuk membahas lebih lanjut perihal kemudahan yang ditawarkannya.

Sedangkan 2,99% merchant menyatakan tertarik dengan inovasi yang dibawakan, namun masih diliputi keraguan sehingga “Belum Dapat Memberikan Jawaban Pasti”.

Alasan yang melatar belakangi poin-poin di atas, mengemukakan kondisi di mana para karyawan sebenarnya mulai merasa kewalahan dengan sistem operasional manual dan tertarik mencoba sistem yang terotomatisasi.

Namun di sisi lain, semuanya bergantung pada pengambilan keputusan para stakeholder terkait. Ada kondisi di mana karyawan masih belum bisa menemui pihak decision maker untuk berdiskusi.

Atau bahkan sudah di tahap berdiskusi namun belum dapat memberikan keputusan. Baik karena merasa rumit untuk beralih aplikasi atau melakukan instalasi.

04. Advanced Features: 46,27% Bisnis Mendambakan Fitur-Fitur Unggulan.

Data menunjukkan 46,27% pelaku bisnis F&B masih enggan untuk sepenuhnya beralih dari sistem konvensional ke digital. Hal ini dilandaskan pada kebutuhan mereka yang beragam. Sehingga muncul pertanyaan di benak mereka, "Bagaimana teknologi digital bisnis dapat memberikan bantuan yang memadai?"

Para pelaku bisnis F&B menginginkan fungsi sistem komprehensif, yang dapat mendukung efektivitas dan efisiensi operasional kerja. Mereka menginginkan sistem multifungsi yang terintegrasi antara; Business Management (Kebutuhan Internal Bisnis) Reporting, Laporan Order, dan Shift Pegawai. Lalu Order Management (Antara Bisnis dengan Pelanggan) Open bills, Integrasi Sistem Layanan.

A. Sebesar 44,96% Advanced Features, tergolong ke dalam kategori “Business Management” atau kebutuhan internal bisnis, yang diantaranya adalah:

Fitur pergantian “Shift Pegawai” bisnis (0,37%)

Fitur “Purchase Order” baik antara cabang maupun pusat (0,56%) Fitur “Laporan Keuangan Bisnis” yang mudah dipahami (2,80%)

Fitur “Inventory Management” untuk pengelolaan stok (13,62%)

Fitur “Account Level Management” berdasarkan tingkatannya (27,61%)

B. Sementara 1,31% Advanced Features yang tergolong “Order Management” atau kebutuhan antara bisnis dengan pelanggan, meliputi fitur seperti berikut:

Fitur “Integrasi dengan Sistem Sebelumnya” yang pernah diterapkan bisnis, sehingga pencatatan bisa dilanjutkan dan tidak mengulang dari awal (0,19%)

Fitur “Integrasi dengan Layanan Pesan-Antar” seperti Shopee Food, Grab Food, Go Food, dan lain-lain. Sehingga kebermanfaatan sistem dirasa lebih luas dan menguntungkan kedua pihak, yaitu memudahkan customer dan menguntungkan bagi penjual (0,37%)

Fitur “Open Bills” yang dapat memberikan keleluasaan bagi pelanggan dan juga bisnis (0,75%)

Inti poin-poin yang berkaitan dengan advanced features di atas, sebagian besar merchant mendambakan upgrade fitur internal yang berkaitan dengan operasional kerja, karyawan, pengelolaan bahan, dan lain-lain.

Sedangkan sebagian kecilnya lagi, mereka menginginkan upgrade fitur yang berhubungan dengan pelanggan atau pihak eksternal, yaitu lebih mengacu pada manajemen pemesanan.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Bursa Uludag University, Turkiye